RELEVANSI DAS KAPITAL
Posted by gue pada 16 Oktober 2006
Mengenang Perempuan dan Anak-anak yang telah Dipersembahkan di Altar Kapitalisme:
Relevansi Das Kapital bagi gerakan-gerakan kemasyarakatan
(Social Movements) di Indonesia
Oleh George Junus Aditjondro
HARI ini, Senin, 18 September 2006, kita berkumpul di Gedung Serba Guna di kampus Unika Parahyangan, Bandung, untuk meluncurkan Buku II dari magnum opus Karl Marx, Das Kapital. Buku II ini telah selesai diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Oey Hay Djoen dan diterbitkan oleh penerbit Hasta Mitra, penerbit buku-buku Pramudya Ananta Toer di Jakarta.
Kita ingin melakukan refleksi, apa relevansi (kepenadan) sebuah buku, yang pertama kali diterbitkan dalam bahasa Jerman di tahun 1885, dua tahun setelah meninggalnya salah seorang pelopor gerakan Kiri, bagi kita, yang hidup di Indonesia, lebih dari seabad kemudian.
Sebelumnya, mari kita renungkan kembali, suka-duka Marx dalam menghasilkan karya besar itu. Seperti kita ketahui, Das Kapital, Capital dalam bahasa Inggris, atau Kapital, dalam bahasa Indonesia terdiri dari tiga jilid.
Jilid pertama diterbitkan tahun 1867, dan masih ditulis oleh Karl Marx sendiri, sambil terus menulis naskah-naskah persiapan untuk Jilid kedua dan ketiga, yang baru dapat disunting dan diterbitkan oleh sahabat dan teman seperjuangannya, Friedrich Engels, setelah Marx meninggal.
Jilid kedua, aslinya juga dalam bahasa Jerman, diterbitkan tahun 1885, sedangkan jilid ketiga, juga dalam bahasa Jerman, baru diterbitkan tahun 1894. Ketiga jilid Kapital itu merupakan hasil studi intensif di British Museum di London, selama 17-20 tahun, semenjak Marx bersama keluarganya hijrah ke London, tahun 1849.
Studi kepustakaan itu dilakukannya dalam kemiskinan yang luar biasa, di mana ‘cakar ayam’ Marx ditulis kembali oleh Jenny von Westphalen, isteri Marx, yang meninggal dalam kemiskinan dan kesehatan buruk, dua tahun sebelum Marx.
Juga tiga dari enam orang anak Marx – Jenny Jr, Franziska, dan Edgar — meninggal, akibat kondisi tempat tinggal mereka yang begitu buruk. Maklumlah, Marx praktis bekerja purna waktu untuk penulisan buku itu, dengan hanya mengandalkan honorarium sebagai koresponden New York Daily Tribune serta bantuan finansial Engels.
Selain Jenny, anak bungsu mereka, Eleanor (“Tussy“), membantu Marx menulis naskah buku itu. (http://www.spartacus.schoolnet.co.uk/TUmarx.htm)
Didahului oleh beberapa karya lain, yakni Manifesto of the Communist Party (1847-8, yang ditulis bersama Engels), Grundrisse (1857-8), A Contribution to the Critique of Political Economy (1859), dan ketiga jilid Theories of Surplus Value (1861-3), ketiga jilid Das Kapital merangkum seluruh teori ekonomi Marx, sebuah kritik menyeluruh terhadap sistem ekonomi kapitalis.
Sementara fokus Jilid 1 pada industri manufaktur, dengan tokoh-tokohnya para buruh dan industrialis, Jilid 2 lebih terfokus pada pasar, dengan tokoh-tokohnya ara pemilik uang atau peminjam uang, pedagang besar, pedagang sedang, dan kaum wiraswasta di berbagai bidang khusus, yang disebut oleh Mandel “functional capitalists”, seperti para pengusaha transportasi, pengusaha pergudangan, dan para banker (1978: 14).
Selanjutnya, Jilid 3 memperlebar fokus sorotan dengan rumus “trinitas” aktor dan faktor ekonomi, yakni kapital yang menghasilkan laba, tanah yang menghasilkan sewa tanah, dan buruh yang hanya mendapatkan upah (Marx 1991c: 953-970 (Bab 48). Jilid ketiga juga berbicara tentang empat kelompok kelas penguasa, yakni kapitalis industri, kapitalis perdagangan, bank, dan kapitalis pemilik tanah.
Sedangkan lima kategori pendapatan, adalah upah, laba sektor industri, laba sektor perdagangan dan bank, bunga bank, dan sewa tanah, yang dapat diringkas menjadi tiga jenis pendapatan, yakni upah, laba dan sewa tanah (Mandel 1991: 64).
Pisau analisis yang digunakan oleh Marx, yakni moda produksi (mode of production), mulai dipopulerkan oleh Marx & Engels dalam Manifesto Komunis, di mana mereka menggambarkan evolusi dari moda produksi feudal, moda produksi manufaktur, ke moda produksi industri modern (Tucker 1978: 474-5).[1] Secara garis besar, moda produksi adalah sistem ekonomi yang paling dominan dalam suatu formasi sosial.[2] Setiap sistem ekonomi, menurut Marx, merupakan hasil interaksi antara ‘kekuatan-kekuatan produksi’ (forces of production) dan ‘relasi-relasi produksi’ (relations of production), seperti yang diuraikannya dalam pengantar buku Contribution to the Critique of Political Economy, yang pertama terbit tahun 1859 (Tucker 1978: 4).
Konseptualisasi begini mencegah determinisme teknologis, yang lebih mementingkan forces of production, maupun determinisme ekonomis, yang lebih mementingkan relations of production, khususnya faktor modal dan manajemen (lihat Skema 1).
Dalam moda produksi kapitalis, komoditi dihasilkan dengan memeras nilai lebih (surplus value) dari kerja sang buruh yang membuat sang kapitalis semakin kaya sementara sang buruh semakin miskin. Yang dimaksud Marx dengan nilai lebih (surplus value) adalah selisih antara nilai komoditi dan upah yang diterima buruh untuk memproduksi barang itu, yang diapropriasi oleh pemilik modal.
Sementara itu, permintaan akan komoditi terpelihara oleh pemberhalaan (fetishism) komoditi, sebagaimana dikemukakan oleh Marx dalam Buku I Kapital. Yang dimaksud dengan konsep ini oleh Marx adalah produksi dan pertukaran (perdagangan) barang yang semata-mata dimotivasi oleh maksimalisasi keuntungan.
Marx menganggap ini ciri khas kapitalisme, di mana produksi barang untuk memenuhi permintaan pasar menjadi tujuan utama sang kapitalis, tanpa mempertimbangkan kebutuhan sosial dan keadilan sosial. Dalam proses ini, produsen dan pedagang sangat tergantung pada fluktuasi harga dan permintaan.
Akibatnya, kepentingan komoditi merajai seluruh hubungan sosial. Pemujaan komoditi juga diidentikkan dengan obsesi untuk mencari uang sebanyak-banyaknya, untuk membeli semua barang yang dapat dibeli dengan uang itu, tanpa mengindahkan nilai-nilai lain (Marx 2004: 41-56; Wilczynski 1986: 89, 578).
Teori pemberhalaan komoditi merontokkan kepopuleran hukum “permintaan & penawaran” yang begitu dipercaya oleh para ekonom liberal, walaupun secara tidak langsung teori “pemberhalaan komoditi” merupakan dasar bagi teori pemasaran yang sangat menggantungkan diri pada iklan.
Sebab “permintaan” (demand) nyatanya sangat tergantung pada usaha “penciptaan” permintaan oleh industri periklanan. Lebih jauh lagi, “permintaan” juga ikut diciptakan oleh lembaga-lembaga promosi hutang luar negeri, yang ikut mendorong pemasaran produk-produk dari negara-negara kapitalis lanjut ke negara-negara miskin, sehingga mereka semakin dalam terjerat dalam hutang.
Secara teoretis, popularitas teori supply & demand itu, yang masih dipertahankan oleh Paul Samuelson, dirontokkan oleh Marx dalam Buku II Kapital, dengan menunjukkan bahwa permintaan akan komoditi tertentu tidak hanya ditentukan oleh konsumen, tapi juga oleh pebisnis, yang ikut membeli tanah, tenaga kerja, dan barang modal (capital goods), kemudian menjualnya kembali kepada publik (Mandel 1991a: 22-23).
Namun Kapital tidak hanya memberikan gambaran sesaat atau anatomi sistem kapitalis. Mengikuti jejak pendahulunya, yakni buku Engels, The Condition of the Working Class in England, maka Buku I Kapital memberikan latar belakang sejarah terbentuknya moda produksi kapitalis di Inggris, sampai menjadi sistem ekonomi yang meliputi sebagian besar dunia yang dikuasai bangsa-bangsa Eropa.
Proses ini dimulai dengan perampasan tanah-tanah petani di daerah-daerah jajahan bangsa Inggris di Kepulauan Britania, khususnya Skotlandia, untuk dialihkan menjadi peternakan domba, guna mendukung industri wol yang mulai tumbuh di Inggris.
Proses ini menghasilkan urbanisasi dan pengangguran besar-besaran di kota-kota di Inggris, yang menghasilkan buruh murah yang serta merta dimanfaatkan oleh industri tekstil yang semakin berkembang berkat penemuan mesin uap oleh James Watt, serta pasokan kapas dari daerah jajahan Inggris di seberang laut, yakni Hindia.
Produksi tekstil yang digerakkan oleh mesin uap itu, menghancurkan industri pertenunan rakyat dengan ATBM-nya, yang semakin memicu urbanisasi di Inggris, dan menambah buruh murah – termasuk perempuan dan anak-anak – untuk melayani industri tekstil di Manchester dan kota-kota sekitarnya.
Proses industrialisasi itu juga memasuki sektor pertanian, di mana produksi gandum, wol, dan daging juga sudah dikuasai oleh para kapitalis pertanian. Dampak revolusioner dari industri berskala besar terhadap manufaktur, kerajinan tangan, dan industri rumahan, dikupas secara terinci dalam Buku I Kapital (lihat Marx 204: 479-517).
Sementara itu, para kapitalis industri mendorong Britania Raya (setelah Inggris mencaplok Skotlandia, Wales, dan Irlandia), menjadi negara imperialis, demi menyedot bahan mentah dari luar negeri sambil melempar produk-produk industri mereka ke mancanegara, terutama bekas negeri-negeri jajahan yang tetap dirangkul di bawah payung Persemakmuran (Commonwealth).
Sejarah kapitalisme Inggris ini dapat dibaca di Bagian 8 dari Buku Pertama Kapital (Marx 2004: 796-870), sedangkan ledakan kemiskinan yang diakibatkan oleh Revolusi Industri di Inggris, dapat dibaca di buku Engels, The Condition of the Working Class in England.
Buku itu merupakan hasil observasi langsung Engels di pusat industri tekstil di Manchester dan sekitarnya antara 1842-4, pada saat ia diutus oleh ayahnya, pemilik kilang kertas Ermen & Engels di Barmen, Jerman, untuk belajar bisnis di Manchester, di mana perusahaan keluarga itu punya kantor. Kendati datang dari latar belakang borjuis, Engels muda sudah menunjukkan kepekaan yang tinggi terhadap penderitaan kelas bawah di Wuppertal, di mana ia dilahirkan.
Kecenderungannya ke arah sosialisme menjadi semakin mantap setelah perjumpaan dengan Marx di Koeln (Jerman) dan Paris, masing-masing di tahun 1842 dan 1844. Selain itu, yang membantu pemahaman Engels terhadap penderitaan kelas pekerja di Inggris adalah Mary Burns, karyawati Ermen & Engels asal Irlandia, yang menjadi teman hidupnya sampai kematian Mary di tahun 1863 (Hobsbawm 1969; Dennehy 1996: 106; Tucker 1978: xv-xviii, 579).
Mari kita kembali ke Buku II Kapital yang sedang kita luncurkan siang ini.
Walaupun fokus buku ini adalah tentang sirkulasi uang dan komoditi, kepedulian Marx yang begitu besar terhadap eksploitasi kaum buruh tetap tampak di buku ini. Misalnya, dalam bagian tentang perawatan alat-alat produksi, Marx menggambarkan bagaimana buruh seringkali melakukan pembersihan mesin-mesin pada waktu jeda, atau pada saat mesin sedang berjalan, tanpa mendapat upah dan dengan risiko kecelakaan kerja (lihat hal. 195).
Jadi itu merupakan tambahan nilai lebih yang diperas oleh para kapitalis dari kaum proletar.
Karena berbicara tentang sirkulasi uang dan komoditi, Buku II ini juga berbicara secara terinci sekali tentang transportasi komoditi, dengan fokus per-kereta-api-an di Inggris, dan tentang sirkulasi dan ‘penimbunan’ uang secara ‘otonom’, lepas dari keterikatan pada sirkulasi barang.
Uraian Marx tentang per-kereta-api-an di Inggris, masih tetap relevan buat mereka yang mendalami ilmu ekonomi angkutan di masa kini, agar dapat memahami bagaimana korporasi-korporasi penyedia jasa angkutan menimbun keuntungan mereka sendiri. Sedangkan dalam berbicara tentang akumulasi kapital, khususnya uang, yang independen dari peredaran barang, Karl Marx sudah 65 tahun mendahului John Maynard Keynes, dengan berbicara tentang penimbunan uang (money hoarding).
Bahkan Marx sudah lebih maju dari pada Keynes, sebab ia membedakan antara investasi yang dapat menaikkan nilai lebih, atau investasi produktif, dan investasi yang tidak produktif (Mandel 1991a: 76). Dengan kata lain, fenomena jutawan-jutawan pialang saham seperti George Soros, sudah diantisipasi Marx lebih dari seratus tahun sebelumnya.
Bab 12 dalam Buku II Kapital, kedengaran seperti laporan industri properti masa kini di Indonesia.
Di situ Marx menggambarkan pergeseran pembangunan rumah atas dasar pesanan dari orang yang membutuhkan rumah kepada seorang kontraktor, ke pembangunan rumah untuk “pasar”. Jadinya, timbullah pasar “tanah” dan pasar “rumah”, yang sangat tergantung pada pasar “uang” alias penyediaan kredit oleh bank, serta perangsang-perangsang yang diberikan oleh pemerintah.
Di masa Marx menulis karya besarnya, lebih dari seabad yang lalu, ribuan vila mewah sudah mulai bermunculan di Belgravia, Tyburnia, dan tempat-tempat lain di seputar kota London (Marx 1991a: 311-312). Lebih dari seabad kemudian, kecenderungan ini masih terus berlangsung.
Dalam penelitian saya terhadap penyebaran harta jarahan keluarga dan kroni Soeharto di manca negara, muncul lapangan golf yang dikelilingi bungalow-bungalow mewah di dekat lapangan pacuan kuda di Ascott, di luar kota London, yang dimiliki Tommy Soeharto melalui dua orang proxynya (Aditjondro 2006b: 62-3; Time, 24 Mei 1999: 22).
Masih banyak lagi aspek perkembangan kapitalisme global masa kini yang sudah diantisipasi Marx dalam Buku II Kapital ini, lebih dari seratus tahun lalu. Yang paling penting, menurut hemat saya, adalah analisisnya terhadap inter-relasi antara dua arus, yakni arus uang dan arus komoditi.
Ini sejajar dengan penemuan berbagai studi non-Marxis yang menemukan, bagaimana korporasi-korporasi pertambangan migas AS yang terbesar didominasi oleh satu keluarga besar, yakni keluarga Rockefeller, sementara bank-bank AS yang terbesar, yang menguasai Wall Street, dikuasai oleh satu keluarga lain, yakni keluarga Morgan. Kedua ‘dinasti’ itu bersinerji menguasai kebijakan politik luar negeri AS, tidak peduli dari partai mana presidennya berasal (Gibson 1994; Medvin 1974).
Lalu, apa relevansi kedua buku Kapital yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia bagi gerakan-gerakan kemasyarakatan (social movements) di sini? Pertama-tama, pisau analisis dan uraian historis Marx dan Engels dapat membantu pemahaman yang lebih kritis terhadap sejarah perkembangan kapitalisme di Indonesia, mulai dari kelahirannya s/d perkembangan neoliberalisme di Indonesia dewasa ini. Untuk menyoroti perkembangan industri tekstil di Indonesia, misalnya, kita dapat bercermin pada sejarah industri tekstil di Inggris, setelah penemuan mesin uap dan setelah pasokan kapas dari India terjamin. Gejala yang paralel dengan di Inggris, berupa hancurnya tekstil hasil ATBM dan hancurnya batik tulis setelah bertumbuhnya pabrik-pabrik tekstil yang berdiri selama dasawarsa pertama Orde Baru, dengan kucuran kredit bank-bank pemerintah, telah terdokumentasi di Indonesia. Bulan Oktober 1972 misalnya, 30 ribu perusahaan ber-ATBM di Pekalongan, Solo, Klaten, Sukoharjo, Jepara dan Tegal terpaksa gulung tikar, dengan melepas ribuan orang buruh mereka (Mortimer 1973: 79).
Selain untuk memahami sejarah perkembangan sektor-sektor ekonomi tertentu, kita juga dapat bercermin pada sejarah integrasi ekonomi Britania Raya, untuk mengkaji integrasi ekonomi Jawa dan luar Jawa. Industri pakaian wol di Inggris berkembang, setelah aneksasi Skotlandia dan transformasi daerah pertanian di pegunungan Skotlandia menjadi padang-padang penggembalaan domba. Proses serupa kemudian berulang di Australia. Saya ingat bahwa hal yang serupa tapi tak sama terjadi di akhir 1980-an, ketika seorang kroni Soeharto, Bob Hasan, berusaha menguasai semua subsektor pengolahan hasil hutan. Waktu itu provinsi-provinsi di luar Jawa dilarang mengekspor rotan mentah maupun tikar rotan, demi pengembangan industri perabot rotan di Jawa, yang dikuasai oleh Bob Hasan dan kawan-kawannya. Akibatnya, terjadi pengangguran dan kelaparan besar-besaran di Kalimantan Selatan dan Tengah.[3] Sampai-sampai, keempat Gubernur se Kalimantan bersama-sama menghimbau pemerintah pusat untuk mencabut larangan ekspor rotan itu.
Soal perkembangan neoliberalisme di Indonesia dewasa ini, sudah tidak dapat diragukan relevansi pisau analisis Marx, terutama dari Buku II Kapital , yang sangat susah dibaca oleh orang awam di bidang ekonomi moneter dan ekonomi keuangan internasional. Apalagi di buku ini berhamburan kutipan-kutipan Marx dari Adam Smith dan David Ricardo, yang karyanya belum diterjemahkan dan diajarkan secara lengkap di banyak fakultas ekonomi di Indonesia. Tapi kalau buku ini dapat diperas inti sarinya, yang meliputi apa yang saya sebut ‘otonomi’ uang dalam perdagangan internasional, serta kesejajaran antara penguasaan uang dan penguasaan komoditi strategis tertentu, seperti migas, maka manfaat membaca Buku II ini akan lebih terasa.
Evolusi kapital domestik menjadi kapital internasional, seperti yang dikupas Marx, juga penting untuk memahami perkembangan kapitalis domestik di Indonesia yang sudah menjadi kapitalis internasional.
Kembali lagi, saya akan gunakan contoh dari sektor migas. Perusahaan migas Britania yang tertua, Burmah Oil, didirikan oleh beberapa orang pengusaha Skotlandia dengan menambang minyak bumi di Burma, ketika Burma masih merupakan jajahan Britania, dan diperintah dari New Delhi.
Tahun 1910, Angkatan Laut Britania Raya mulai memonopoli pembelian minyak buminya pada Burmah Oil, sebab pesaingnya, Shell, telah bergabung dengan beberapa pengusaha Belanda menjadi Royal Dutch Shell. Burmah Oil ini kemudian melahirkan Anglo-Persian Oil Company, yang kemudian menjadi Anglo-Iranian, lalu British Petroleum (BP). Sekarang singkatannya bermakna, Beyond Petroleum. Burmah Oil sendiri masih bertahan, dengan menguasai 23% saham BP. Sampai krisis ekonomi Malam Tahun Baru 1974 membangkrutkan perusahaan itu, sehingga sahamnya diambilalih oleh Bank of England. Tapi sebelumnya, Burmah Oil telah mendapat konsesi pengeboran migas di lepas pantai Timor dan Australia, dan memasok 23 tanker LNG kepada Pertamina dengan harga yang sangat didongkrak (Longhurst 1959: 18, Sampson 1977: 69-71; Aditjondro 2000: 18, 29-30).
Dari sejarah Burmah Oil/BP itu, kita dapat membaca kebenaran tesis dasar Marx, yang menjelujuri seluruh batang tubuh Kapital, yakni bahwa fungsi negara dalam moda produksi kapitalis pada dasarnya adalah melayani kepentingan kapital. Paling tidak, ada korelasi yang kuat antara kepentingan negara dan kepentingan kapital.
Sementara itu, BP kini menguasai salah satu ladang gas alam terbesar di Nusantara, yakni ladang Tangguh di daerah Kepala Burung, Papua Barat, yang dilindungi kepentingannya oleh pemerintah Indonesia dengan pembentukan provinsi siluman, Irja Barat yang beribukota di Manokwari.
Bagaimana akumulasi kapital semakin memperbesar keuntungan para kapitalis, yang dekatan dengan penguasa politik, seperti halnya Burmah Oil/BP, dapat kita saksikan juga pada pertumbuhan Medco, maskapai pertambangan migas swasta terbesar di Indonesia. Perusahaan itu didirikan oleh pengusaha politikus Arifin Panigoro, bersama adik-adiknya dan besan Soeharto, alm.
Eddy Kowara Adiwinata. Di masa kejayaan Soeharto, perusahaan itu berekspansi ke negara-negara Asia Tengah (eks Uni Soviet), dengan memanfaatkan kedekatannya pada keluarga dan konco-konco Soeharto (Aditjondro 1998: 133-4).
Selama era pasca-Soeharto, Medco terus berkembang, di luar maupun di dalam negeri, saat Arifin Panigoro mulai aktif berpolitik dengan mendekati Amien Rais, lalu Megawati Soekarnoputri, dan sekarang mengambil jarak dari Megawati sambil membaca situasi politik di tahun-tahun mendatang.
Sementara itu, Soegiarto, mantan direktur keuangan kelompok Medco, yang masih memegang jabatan komisaris di beberapa anak perusahaan Medco, mendapat kedudukan strategis sebagai Menteri BUMN dalam Kabinet SBY-JK (Aditjondro 2006a).
Tidak kalah hebatnya dengan Medco adalah perusahaan-perusahaan milik keluarga Menko Kesra Aburizal (“Ical”) Bakrie, yang juga berkembang dengan pesat di bawah payung rezim Soeharto. Di masa kediktatoran Soeharto, adik-adik Ical ikut membangun perusahaan-perusahaan perdagangan minyak bersama anak-anak dan adik sepupu Soeharto di Hong Kong dan Singapura.
Setelah Soeharto turun takhta, Ical dan adik-adiknya melepaskan diri dari kelompok itu. Sebelumnya, sebagai ancang-ancang menghadapi era pasca-Soeharto, Bakrie Bersaudara sudah membangun imperium bisnis migas mereka sendiri. Indra Usmansyah Bakrie, adik Ical, tercatat sebagai Presiden Komisaris Kondur Petroleum S.A. yang berbasis di Panama.
Perusahaan itu dimiliki oleh PT Bakrie Energi, yang 95 % milik Bakrie Bersaudara dan 5% milik Rennier A.R. Latief, CEO dan Presdir Kondur Petroleum SA. Di Indonesia, perusahaan ini bergerak di bawah nama PT Energi Mega Perkasa Tbk., yang juga dipimpin oleh Renier Latief. Perusahaan ini sekarang menjadi perusahaan migas swasta nasional kedua terbesar setelah Medco.
Di mancanegara, bisnis minyak Bakrie bersaudara ini tetap bergerak dengan kendaraan Kondur Petroleum SA, yang beroperasi di Kroasia, Uzbekistan, Yaman dan Iran. Sebelumnya, sebagai operator Kawasan Production Sharing Selat Malaka (KPS-SM), Kondur telah berbisnis dengan Shell, yang menampung minyak mentah dari Selat Malaka untuk dimurnikan di Australia (idem).
Selain di Kondur Petroleum SA, Bakrie Bersaudara juga memiliki saham dalam PT Bumi Resources Tbk, yang telah mengalihkan usahanya dari perhotelan ke pertambangan migas dan bahan baku enerji lain. Diversifikasi usaha itu dilakukan dengan membeli 40% saham Korean National Oil Corporation (KNOC), yang menanam 4,4 juta dollar AS dalam unit pengolahan minyak TAC Sambidoyong di Cirebon. Selain di Indonesia, KNOC melakukan eksplorasi migas di sebelas negara lain, termasuk Libya, Afrika Selatan, Yaman, Vietnam, Venezuela, Peru dan Argentina (idem).
Sekian dulu analisis tentang akumulasi modal penguasa di Indonesia, mengikuti jejak Kapital. Sekarang marilah kita bicara tentang relevansi karya Marx itu bagi gerakan-gerakan kemasyarakatan (social movements) di Nusantara. Yang jelas, ketiga jilid Capital masih relevan sebagai amunisi bagi gerakan buruh di Indonesia. Sebab Buku I Kapital juga menggambarkan perjuangan buruh di Inggris – didukung oleh partai-partai sosialis yang mulai menjamur di sana — untuk merebut hak-hak mereka. Mulai dari pembatasan hari kerja s/d pembatasan jam kerja (lihat Bab X).
Pengetahuan mendalam tentang gerakan buruh diperoleh Marx dan Engels, berkat keterlibatan mereka sendiri dalam gerakan-gerakan itu. Atau, dalam kasus Engels, kedekatannya dengan seorang buruh di perusahaan keluarganya. Sebelum lahirnya gerakan buruh sosialis dan komunis, Marx dan Engels ikut melahirkan International Working Men’s Association di London pada tanggal 28 September 1864, yangdikenal dengan nama First International, bersama wakil-wakil buruh dari Inggris, Perancis, dan Jerman. Marx ikut aktif dalam dewan pimpian organisasi itu, tapi menolak jabatan Ketua. Alasannya, “sebagai pekerja intelektual, bukan pekerja kasar, ia tidak memenuhi syarat”. Baru setelah terbitnya Das Kapital, yang menaikkan popularitasnya di kalangan buruh, Marx mulai aktif “memimpin” organisasi itu dari London. Itu berlangsung sampai Kongres IWMA 1872 di Den Haag, Negeri Belanda. Celakanya, perpecahan antara kaum Marxis dan anarkis di bawah pimpinan Mikhail Bakunin mengancam kesatuan organisasi itu. Sampai-sampai kongres memutuskan, atas usul Marx, agar markas besar IWMA dipindahkan dari London ke New York. Ternyata keputusan itu mematikan wadah buruh Marxis internasional yang pertama itu (Tucker 1978: xxxiv-xxxv; Guerin 1989: 111-4; Magnis-Suseno 2001: 54).
Selanjutnya, apa kontribusi Kapital bagi gerakan perempuan? Saya tidak sependapat dengan berbagai literatur, yang hanya merujuk ke karya Engels, Origin of the Family, Private Property, and the State (1845) sebagai satu-satunya kontribusi pemikiran ‘dwitunggal’ Marx & Engels bagi gerakan perempuan (lihat misalnya Putnam-Tong 1998: 150). Dalam Buku I Kapital, mengecam keras eksploitasi perempuan dan anak-anak oleh industri garmen dan tekstil di Inggris (hal. 252-5, 303-4, 416-26).
Secara khusus Marx mengulas kematian Mary Anne Walkley (20 tahun), tukang jahit topi perempuan dalam salah satu perusahaan busana terbaik di kota London, milik seorang nyonya yang terhormat, Elise. Demi menyiapkan pesta dansa untuk menghormatan bagi Puteri Wales, Mary bersama 60 orang buruh perempuan lain bekerja 26,5 jam tanpa henti, 30 orang dalam satu kamar, yang hanya memasok 1/3 dari jumlah udara yang diperlukan. Di malam hari, mereka tidur berduaan dalam salah satu lubang pengap. Walhasil, Mary jatuh sakit pada hari Jumat, dan meninggal pada hari Minggu, tanpa dapat menyelesaikan bagiannya. Dokter yang terlambat dipanggil menyimpulkan di depan hakim pemeriksa mayat: “Mary Anne Walkley meninggal, karena jam kerja yang panjang, dalam ruang kerja yang penuh sesak, dan tidur dalam kamar yang terlalu sempit dan berventilasi buruk sekali” (Marx 2004: 253).
Masih banyak lagi penderitaan buruh yang diuraikan Marx dalam Buku I Kapital, yang terutama terfokus pada buruknya kondisi ‘hiperkes’ (higiene perusahaan & keselamatan kerja) di berbagai perusahaan. Termasuk penderitaan buruh perempuan di pabrik-pabrik pemintalan rami, pengelantangan, katun, wol, sutera, dan tembikar, bahkan di tambang batubara (Marx 2004: 223, 256, 300) (lihat Tabel 1, dari Marx 2004: 3000). Tema ini kembali kita jumpai dalam volume ketiga dari Capital, yang mengecam ironi bahwa para produsen busana mewah memperlakukan para buruh dan penjahitnya dengan sangat tidak manusiawi (lihat Marx 1991b: 189-90). Berbagai kritik Marx ini senafas dengan apa yang dikemukakan Engels dalam The Condition of the Working Class in England, yang terbit dua dasawarsa sebelum Das Kapital.[4]
Kendati demikian, Rosemarie Putnam Tong masih menulis: “Meskipun Bapak Marxisme tidak mempertimbangkan opresi terhadap perempuan dengan keseriusan yang sama dengan pertimbangannya atas opresi terhadap pekerja, beberapa dari mereka [para Marxis] menawarkan penjelasan mengapa perempuan teropresi sebagai perempuan” (1998: 150). Opresi terhadap perempuan tidak dapat diisolasi dari opresi terhadap buruh, yang juga meliputi perempuan. Namun memang harus diakui, bahwa fokus Marx lebih ke dampak hiperkes dari Revolusi Industri di Inggris, dengan hanya sedikit menyinggung aspek lain, yang kadang-kadang tersembunyi di catatan kaki. Misalnya, dalam catatan kaki No. 2 di halaman 597 dari Buku I Kapital ada indikasi tentang kesenjangan antara upah buruh perempuan dan laki-laki di Inggris, dengan menyebutkan bahwa upah seminggu untuk buruh perempuan pembuat paku “hanya 5 shilling”. Di halaman sebelumnya, juga di catatan kaki, ada rujukan tentang pelecehan seksual terhadap buruh perempuan di perusahaan penjilidan buku di London City, di mana majikan memikat mereka dengan upah ekstra dan dengan uang buat makan malam di warung sebelah pabrik. “Dengan demikian, diciptakan kemesuman yang luar biasa di antara “jiwa-jiwa muda yang abadi” ini”, tulis Marx. Ironisnya, seperti ditambahkan di catatan kaki itu, perusahaan itu “menjilid banyak Kitab Injil dan lain-lain kitab keagamaan” (Marx 2004: 596).
Dampak hiperkes dari penindasan buruh, termasuk buruh perempuan dan anak-anak di Inggris, lebih dari seabad lalu, sangat berguna untuk membuka mata para aktivis lingkungan di Nusantara. Barangkali, karena latar belakang kelas menengah serta obsesi dengan “alam” membuat para aktivis lebih dekat dengan petani dan bangsa-bangsa pribumi (indigenous peoples), dan kurang memperhatikan kondisi buruh di dalam pabrik, tambang, perkebunan, kilang kayu lapis, industri dan armada perikanan, serta buruh konstruksi proyek-proyek raksasa, seperti bendungan (Aditjondro 1993).
Padahal, bagaikan “burung kenari dalam tambang”, buruh adalah manusia yang pertama kali menderita atau meninggal dunia akibat buruknya mutu lingkungan di basis-basis produksi tersebut.
Walhasil, dari seluruh makalah ini dapat disimpulkan, bahwa karya besar Karl Marx, Das Kapital, yang ditulis lebih dari seabad lalu, tetap relevan bagi perjuangan anti-kapitalisme di Indonesia.
Pertama, Buku I Kapital yang memberikan dasar-dasar untuk memahami dinamika kapitalisme, termasuk sejarahnya yang bermula dari pencaplokan tanah-tanah pertanian di Skotlandia s/d ekspansinya menjadi sistem ekonomi dunia, sangat relevan untuk memahami pertumbuhan kapitalisme di Nusantara, sementara Buku II memperlebar pemahaman kita terhadap sistem kapitalisme global.
Kedua, khusus bagi gerakan buruh, perjuangan buruh dan partai-partai Kiri di Inggris untuk menghapuskan buruh anak-anak serta usaha menentukan jam kerja maksimal, yang dikemukakan dalam Buku I, serta penderitaan khusus buruh sektor angkutan yang dikemukakan dalam Buku II, sangat relevan sebagai sumber inspirasi bagi gerakan buruh di Nusantara. Ketiga, perhatian Marx terhadap penderitaan buruh perempuan dan anak-anak di berbagai sektor industri di Inggris, lebih dari seabad yang lalu, sangat berguna untuk memberikan dimensi ‘kelas pekerja’ bagi gerakan perempuan dan gerakan lingkungan di Nusantara, sambil menciptakan platform bersama gerakan buruh.
Yogyakarta, 16 September 2006
Catatan:
[1] Sesungguhnya, ‘bibit’ pemikiran untuk membedakan masyarakat berdasarkan moda produksinya, dengan kata lain, berdasarkan sistem ekonominya,sudah ada di karya Marx bersama Engels, The German Ideology, yang ditulis antara tahun 1845-6. Di situ mereka membedakan tiga tahap perkembangan masyarakat dilihat dari pembagian pekerjaan, yakni sistem tribal (suku); sistem komunal purba di mana beberapa suku sudah bergabung ke dalam satu ‘kota’, karena kesepekatan maupun penundukan; dan sistem feudal yang lahir dari sistem sebelumnya, di mana para bangsawan yang berkuasa memperluas sayap mereka ke desa-desa sekitarnya. Dalam tahap feudal itulah muncul kelompok-kelompok pengrajin yang bukan pemilik tanah dan juga tidak berdarah biru, yang merupakan embrio dari sistem kapitalis (Tucker 1978: 151-3). Selanjutnya, dalam pengantar Contribution to the Critique of Political Economy, yang diterbitkan oleh Marx tahun 1859, Marx, “secara garis besar” (in broad outlines), membedakan moda produksi Asiatik, moda produksi kuno, moda produksi feudal, dan moda produksi borjuis modern (Asiatic, ancient, feudal, and modern bourgeois modes of production) (Tucker 1978: 5). Dari sinilah berkembang penafsiran, bahwa teori perkembangan ekonomi Marx bersifat linier dan Eropa-sentris, seolah-olah setiap masyarakat di dunia harus berevolusi melalui tahap-tahap tersebut. Pandangan yang linier dan Euro-sentris itu telah ditolak oleh sejumlah Marxis Afrika, seperti Amilcar Cabral dan Samir Amin. Cabral, seorang pemikir dan pejuang kemerdekaan Guinea-Bissau dan Cabo Verde, berpendapat bahwa negara-negara Afrika yang berada dalam moda produksi tribal, dapat langsung melompat ke moda produksi sosialis, tanpa harus melalui tahap feudal dan kapitalis.
[2] Dalam formasi sosial yang bernama Indonesia, hadir beberapa moda produksi secara simultan, yakni moda produksi tribal, moda produksi feodal, moda produksi agraris non-feodal, moda produksi agribisnis, dan moda produksi industri kapitalis. Tetapi semua produksi non-kapitalis itu terikat ke dalam satu moda produksi yang dominan, yakni moda produksi kapitalis.
[3] Ini terjadi di desa-desa di sekitar kota Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah, di mana harga rotan anjlok dari Rp 650 ribu per ton menjadi hanya Rp 300 ribu akibat larangan ekspor rotan itu. Lihat Laporan Hasil Forum Refleksi & Inspirasi (FRI) V, 17-24 September 1988 di Kuala Kapuas, Kalimantan.
[4] Karya Engels, The Condition of the Working Class in England, oleh Ted Benton, seorang peneliti pemikiran Engels dianggap sebagai perintisan “sosialisme ekologis”, karena perhatiannya yang sangat jeli terhadap kondisi kehidupan para buruh di Inggris, baik di tempat tinggal maupun di tempat kerja mereka. Lihat Benton 1996. Karena itu, tidak ada salahnya untuk menggali dimensi ekologi dari karya-karya Engels dan Marx, sebagai amunisi tidak hanya bagi gerakan perempuan, tapi, seperti yang akan kita lihat sebentar lagi, bagi gerakan lingkungan di Nusantara.
[5] Di masa lalu, buruh-buruh tambang biasanya membawa burung kenari dalam sangkar bersama mereka, kalau turun ke tambang-tambang bawah tanah. Kondisi burung kenari itu mereka jadikan indikator, ada tidaknya gas-gas berbahaya di dalam tambang. Sebab burung itu lebih peka terhadap gas-gas tersebut ketimbang manusia. Kalau burung itu mulai sakit, apalagi mati, para buruh buru-buru berusaha keluar dari tambang, walaupun mereka belum mencium gas-gas yang berbahaya.
No comments:
Post a Comment